Selain bertongkol besar dan panjang, si jagung ‘tegangan tinggi’ BISI 220 juga lebih cocok saat ditumpangsarikan dengan tanaman cabai di bawahnya. Sebagaimana yang sudah dilakukan oleh para petani jagung di Kota Mangga Probolinggo.
Di Kota Probolinggo, para petani jagungnya memiliki kebiasaan tanam yang unik. Tanaman jagungnya ditumpangsarikan dengan tanaman cabai. “Betul, tanaman cabainya kita tanam di sela-sela barisan tanaman jagung,” ujar Hasan Prasojo (38), Ketua Kelompok Tani Lestari Jaya, Desa Kebonsari Wetan, Kecamatan Kanigaran, Kota Probolinggo, Jawa Timur.
Dalam siklus tanamnya, saat memasuki musim kemarau, para petani di kota mangga itu umumnya memang menanam cabai pasca jagung. “Cabainya adalah cabai rawit lokal yang umurnya panjang, sekitar 100 hari setelah pindah tanam baru mulai panen,” terang Hasan yang masuk nominasi 5 besar nasional Petani Berprestasi 2019 dan berkesempatan menerima penghargaan langsung dari Presiden pada perayaan HUT RI ke-74 di Jakarta.
Lantaran umur panen yang lama itu, para petani berinisiatif untuk menanam cabai lokal di sela-sela tanaman jagung mereka yang belum dipanen. Sehingga setelah panen jagung selesai mereka tidak perlu menunggu hingga 100 hari lagi untuk bisa panen cabai.
“Tanaman cabai mulai ditanam saat jagung berumur sekitar 45 hari atau saat pemupukan kedua. Jadi sambil memupuk jagung, cabainya ditanam. Nanti sekitar 50 hari setelah jagungnya dipanen, cabainya sudah bisa dipanen. Tidak perlu menunggu 100 hari lagi,” lanjut Hasan.
Meskipun di bawahnya ada tanaman cabai, pupuk yang diberikan pada tanaman jagung juga tetap seperti biasanya. Tidak ada penambahan khusus. “Pupuknya tetap, kalau saya biasanya untuk sekali pemupukan sebanyak 5 karung (250 kg) per hektar lahan. Cabainya tidak perlu tambahan pupuk, cukup numpang pada pemupukan jagung sampai jagungnya dipanen,” terang Hasan.
Jarak tanamnya sendiri tidak berbeda dengan tanam jagung pada umumnya, yaitu 70 x 20 cm. Menurut Hasan, dengan jarak tanam tersebut tanaman cabai masih cukup mendapat sinar matahari untuk pertumbuhannya.
“Tanaman cabainya tetap bisa tumbuh normal, jagungnya juga tetap optimal,” ungkapnya.
Biasanya, kata Hasan, setelah jagung yang ditumpangsari dengan tanaman cabai tersebut selesai dipanen, selang seminggu atau sesaat setelah tanaman cabainya diairi, petani kembali menanam jagung di sela-selanya. “Hanya saja jarak tanam jagungnya lebih lebar. Sekitar 100 x 20 cm. Jagungnya ditanam di antara dua baris tanaman cabai,” terangnya.
BISI 220 paling cocok untuk tumpang sari
Dalam sistem tumpang sari dengan cabai ini, faktor cahaya matahari dan lingkungan mikro di bawah tegakan tanaman jagung sangat berperan terhadap pertumbuhan tanaman cabai itu sendiri. “Minimal sinar matahari masih bisa masuk. Karena umumnya tanaman jagung yang ditanam petani di sini memiliki karakter daun yang datar, tidak tegak, maka jarak tanamnya agak longgar agar bisa ideal untuk ditanami cabai di bawahnya,” terang Hasan.
Namun, setelah mencoba tanam varietas jagung hibrida baru dari PT BISI International, Tbk., yaitu BISI 220, tumpangsari dengan cabai semakin mudah. Pasalnya, jagung tersebut memiliki karakter daun yang tegak atau erect. Sehingga cahaya matahari semakin mudah masuk hingga ke permukaan tanah yang ditanami cabai.
“Pertumbuhan tanaman cabainya lebih bagus, karena cahaya matahari dan udara bisa lebih bebas masuk,” ujar Hasan.
Lantaran bentuk daun tegak tersebut, Hasan pun mencoba menanam BISI 220 dengan jarak tanam yang lebih rapat, yaitu 50 x 20 cm (kebutuhan benih 25 kg/ha), dan tetap ditumpangsari dengan cabai. Harapannya, dalam satuan luas lahan hasil panen jagungnya bisa lebih banyak dan tanaman cabainya tetap bagus.
“Ternyata hasilnya tetap bagus. Jagungnya tumbuh normal dan populasi lebih banyak, sementara cabainya juga tetap bisa tumbuh bagus di bawahnya. Karena, meskipun lebih rapat jarak tanam, sinar matahari masih bisa masuk dengan mudah,” terang petani muda berprestasi ini.
Dengan populasi jagung yang lebih banyak itu, porsi makannya atau dosis pemupukannya pun harus ditambah. “Untuk satu hektar lahan perlu tambahan 2 karung (100 kg) pupuk untuk sekali pemupukan,” lanjut Hasan.
Haji Arif, petani jagung di Desa Jerebeng Kidul, Wonoasih, Probolinggo, juga membenarkan hal itu. Meskipun baru pertama kalinya menanam BISI 220 dan ditumpangsari dengan tanaman cabai, ia mengaku sangat menyukai jagung baru tersebut.
“Cocok saya dengan BISI 220. Karena daunnya ngerocok (tegak-red.), tidak kaereng (datar-red.), sehingga sangat cocok untuk tumpangsari dengan cabai,” terang Haji Arif.
Jagung BISI 220 milik Haji Arif tersebut sudah memasuki masa panen, dan ditumpangsari dengan cabai lokal. Saat Abdi Tani ke lahannya, tanaman cabai tersebut sudah setinggi 50 cm. “Kalau dengan jagung lain, tingginya cabai tidak sampai 50 cm pada umur yang sama. Paling sekitar 30 cm. Ini di bawah tanaman BISI 220 lebih bagus pertumbuhannya,” lanjutnya.
Bukan hanya karena cocok dengan karakter daunnya yang tegak, Haji Arif juga menyukai BISI 220 karena lebih tahan penyakit bulai. “Saat ini memang musim bulai. Tanaman jagung lain yang biasanya saya tanam semuanya terkena bulai, tapi BISI 220 ini tidak ada yang kena bulai. Sangat tahan. Tongkolnya juga lebih panjang dan besar,” ungkapnya.