Dalam usaha tani jagung, masa panennya tidak selalu saat tua. Namun, panen muda bisa menjadi salah satu alternatif yang menguntungkan bagi para petani. Karena, selain menghemat waktu, biaya perawatannya pun bisa lebih hemat, dan keuntungannya pun bisa lebih
Jagung, khususnya jagung pipil, boleh dibilang memiliki masa panen yang fleksibel. Tergantung kebutuhan. Umumnya memang dipanen tua, di kisaran umur 110 – 115 hari setelah tanam, untuk kebutuhan pipil kering bahan baku pakan ternak. Namun, di sejumlah wilayah, para petani juga biasa memanen jagungnya di umur yang lebih muda, sekitar dua bulan setelah tanam.
Seperti di Majalengka, Jawa Barat. Tidak sedikit petani jagung yang memanen jagungnya lebih dini alias panen muda. Selain karena bisa panen lebih cepat, biaya tanamnya juga lebih hemat. “Untuk lahan 100 bata (1.400 m2-red.), biayanya tidak lebih dari sejuta,” terang Dudin Aliyudin, Agronomis Field Crop PT BISI International, Tbk. (BISI) area Majalengka dan Kuningan.
Hal itu dibenarkan Saca, petani jagung di Desa Sindangkerta, Kecamatan Maja, Majalengka. Baginya, dengan dipetik muda, perawatannya lebih mudah dan murah. “Pupuknya cukup dua kali. Lebih murah biayanya, tapi bisa lebih cepat dapat hasil panennya,” ujarnya.
Saca menjadi salah satu petani jagung di Majalengka yang biasa panen muda. Jagung pipil yang dipanen muda itu biasanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sayur dan juga olahan rebus atau bakaran.
Tidak banyak yang ditanamnya, setiap musim tanam, Saca menanam jagung tidak lebih dari 2 kg benih untuk lahan miliknya yang hanya seluas 100 bata. Lantaran lahan yang sempit itu pula, Saca mengoptimalkannya dengan memanen jagungnya di usia muda.
Baru-baru ini Saca juga kembali memanen jagungnya di usia muda, dipetik pada umur tidak lebih dari 75 hst. Ia menggunakan benih BISI 220, salah satu varietas jagung super hibrida baru produksi PT BISI International, Tbk..
“Tanamannya bagus. Batangnya besar dan kokoh. Yang berbeda itu tongkolnya, lebih besar dan panjang,” kata Saca.
Dirawat sebagaimana biasanya, BISI 220 yang ditanam Saca itu pun tumbuh optimal. Meskipun dijual borongan, namun hasilnya telah membuat Saca puas.
Dari lahan seluas 100 bata itu, jagung milik Saca diborong pedagang senilai Rp3,5 juta. Hasil panennya itu, kata Saca, sudah membuatnya puas. Pasalnya, biaya tanam dan perawatan yang dikeluarkannya tidak lebih dari Rp1 juta. Sehingga, dalam kurun waktu sekitar dua bulan ia bisa mengantongi keuntungan bersih Rp2,5 juta.
“Hasilnya lumayan. Sangat menguntungkan. Lebih dari cukup bagi kami,” ungkap Saca.
Sebenarnya, Saca bisa saja menjual jagung mudanya itu dengan ditimbang atau dijual kiloan. Harganya juga lumayan, sekitar Rp2.000/kg. Namun karena ingin praktis, akhirnya diborongkan. Bukan hanya tongkolnya yang diborong, batang dan daunnya juga diborong untuk keperluan hijauan pakan ternak. Dan bagi pedagang, batang dan daun BISI 220 itu juga lebih menguntungkan, karena batangnya besar dan daunnya hijau segar.
Menurut Dudin, untuk panen muda, BISI 220 sudah bisa memenuhi kriteria yang diinginkan pasar. Beberapa di antaranya adalah bijinya yang tidak keras dengan warna kuning cerah, dan ukuran tongkol yang besar.
“Yang diminati bandar dan pasar itu yang tongkolnya besar dan warna bijinya tidak terlalu oranye. Untuk BISI 220 sudah masuk kriteria, tongkolnya besar dan warna bijinya pas. Ukurannya juga seragam. Rata-rata untuk satu kilogram itu berisi 2-3 tongkol,” ujar Dudin.