Demorf 60WP Mengatasi Masalah Bulai Jagung
59,449 views

Dengan bahan aktif yang lebih tinggi, fungisida sistemik Demorf 60WP kini menjadi pilihan baru para petani jagung yang selama ini dipusingkan dengan masalah bulai.

Bulai merupakan penyakit yang sudah begitu ‘akrab’ dengan petani. Bagi petani jagung, tidak ada yang tidak kenal dengan penyakit yang namanya bulai. Dampak serius yang ditimbulkan oleh  penyakit itulah yang menjadikannya sebagai momok terkenal di kalangan para petani jagung.

Penyakit bulai, menyerang pada tanaman jagung berumur 3-4 minggu, intensitas serangannya bisa mencapai 100%. Penyakit yang dipicu oleh jamur Peronosclerospora maydis ini menyerang bagian daun hingga menyebabkan warna daun berubah kuning pucat bergaris dan akhirnya berubah menjadi nekrotik coklat. Dampaknya, tanaman akan menjadi kerdil dan tidak mampu lagi membentuk tongkol.

 

Mengenal Bulai

Penyakit downy mildew atau lebih dikenal dengan sebutan penyakit bulai kerap mendapat perhatian lebih dalam budidaya tanaman jagung. Pasalnya, dibanding dengan penyakit lainnya, serangan bulai bisa mengakibatkan kehilangan hasil hingga 100% pada varietas yang rentan.

Selain itu, penyakit ini juga telah masuk kategori sebagai penyakit paling berbahaya pada tanaman jagung. Karena, semua kawasan penghasil jagung dunia, mulai dari Amerika, Afrika, India, Thailand, Filipina, hingga Indonesia tidak luput dari serangan penyakit ini.

Jamur atau cendawanlah yang menjadi biang kerok di balik merebaknya serangan bule tersebut. Dari catatan Wakman dan Burhanuddin dari Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, Sulawesi Selatan, dalam “Pengelolaan Penyakit Prapanen Jagung”, ada 10 spesies jamur dari tiga generasi yang menjadi penyebab bulai. Di antaranya adalah: Peronosclerospora maydis (bulai Jawa), Peronosclerospora philippinensis (bulai Philipina), Peronosclerospora sorghi (bulai sorgum), Peronosclerospora saccari (bulai tebu), Peronosclerospora spontanea (bulai Spontanea), Peronosclerospora miscanthi (bulai Miscanthi), Peronosclerospora heteropogani (bulai Rajasthan), Sclerophthora macrospora (crazy top), Sclerophthora rayssiae var. zeae (brown stripe), dan Sclerospora graminicola (bulai Graminicola).

bule jember 4 (8)

Bule jember 3 (3)

 

Di Indonesia sendiri, jamur penginfeksi bule yang banyak berkembang adalah Peronosclerospora maydis. Menurut Wakman dan Burhanuddin, jamur ini dapat menginfeksi tanaman jagung muda melalui permukaan daun. Konidia yang disebarkan oleh angin dan menempel di permukaan daun akan masuk ke jaringan tanaman melalui stomata tanaman muda dan lesio lokal akan berkembang ke titik tumbuh yang menyebabkan infeksi sistemik. Konidiofor dan konidia jamur sendiri akan terbentuk dan keluar dari stomata pada malam hari yang lembab. Karena, P. maydis menghendaki suhu di bawah 240C dan kondisi gelap sekaligus lembab untuk berkembang.

Wakman dan Burhanuddin juga menulis, apabila biji jagung juga terinfeksi jamur P. maydis, maka kotiledon atau daun yang muncul dari kecambah jagung akan selalu terinfeksi. Tapi jika sumber inokulumnya dari spora, maka daun kotiledon akan tetap sehat.

Perlu diketahui juga bahwa jamur tersebut sejatinya bersifat parasit obligat dimana seluruh hidupnya berperan sebagai parasit, sehingga hanya mampu berkembang pada jaringan inangnya. Oleh karena itu, jamur ini hanya akan menyerang tanaman jagung yang notabene merupakan inangnya.

Tanaman jagung yang terinfeksi P. maydis biasanya akan menunjukkan gejala berupa perubahan daun jagung yang menjadi kuning pucat dan bergaris sejajar tulang daun. Lebih lanjut daun tersebut akan mengalami nekrotik coklat, sempit, dan kaku. Jika diamati lebih dekat, pada bagian atas dan bawah daun terdapat massa seperti tepung berwarna putih yang merupakan spora dari jamur P. maydis.

Jika tidak segera dikendalikan, pertumbuhan tanaman jagung akan terhambat dan mengganggu pembentukan tongkol, bahkan bisa sampai tidak bertongkol sama sekali. Infeksi sistemik pada tanaman muda (berumur 3-4 minggu) biasanya akan menimbulkan kerusakan parah hingga tanaman mati.

 

Pengendalian sejak dini

Gejala lainnya adalah terbentuknya anakan yang berlebihan dengan daun-daun yang menggulung dan terpuntir. Bunga jantan yang terbentuk juga akan berubah menjadi massa daun yang berlebihan dan daunnya sobek-sobek.

Menurut Dr. Ir. Andi Khaeruni, MSi., dosen Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari, untuk mengatasi serangan penyakit tersebut diperlukan tindakan antisipasi sejak dini dengan mengutamakan prinsip-prinsip pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT).

“Prinsip PHT itu adalah dengan menggunakan beberapa metode pengendalian yang kompatibel dan memberikan hasil yang terbaik,” ujar Andi.

Lebih lanjut Andi menjelaskan, terdapat beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengendalikan penyakit pada tanaman jagung secara terpadu. Antara lain: menggunakan benih yang bebas patogen, yaitu benih yang berasal dari induk yang sehat (bersertifikat) atau benih yang telah diberi perlakuan fungisida; Penanaman dilakukan jauh dari pertanaman yang terinfeksi penyakit; Lakukan teknik budidaya yang baik, sanitasi lahan, pemupukan berimbang, dan teknik irigasi yang baik, serta pemeliharaan tanaman; Lakukan pergiliran varietas atau rotasi tanaman pada waktu tertentu; Dalam kondisi cuaca yang sangat mendukung perkembangan penyakit, sebaiknya dilakukan pengendalian dengan menggunakan fungisida atau bakterisida sesuai dosis anjuran.

Andi juga menekankan pentingnya penggunaan varietas jagung yang tahan terhadap penyakit bule. Pasalnya, hal tersebut merupakan salah satu cara yang paling murah, mudah, aman, dan efektif. “Murah, karena tidak membutuhkan biaya penyemprotan. Mudah, karena tidak diperlukan teknik khusus. Aman, karena tidak mempunyai efek residu kimia. Kemudian efektif, karena dapat mengendalikan penyakit-penyakit yang tidak bisa menggunakan cara lain,” terangnya.

Sementara itu, Doddy Wiratmoko, Senior Manager Pengembangan Pasar Benih Jagung PT BISI International, Tbk., ada beberapa produk benih jagung yang secara genetis memiliki karakter tahan penyakit bule. Sehingga bisa dijadikan pilihan dan andalan para petani jagung. Varietas yang dimaksud antara lain: jagung super hibrida BISI 226, BISI 228, BISI 18, BISI 816 dan BISI 222.

 

Penggunaan Demorf

Salah satu alternatif dalam pengendalian penyakit bule saat ini adalah dengan menggunakan fungisida sistemik Demorf 60WP yang mampu bekerja untuk mengatasi masalah tersebut.

Demorf 60W P adalah fungisida sistemik berbahan aktif  Dimetomorf 60%, berbentuk tepung berwarna abu-abu yang dapat disuspensikan dalam air, digunakan untuk mengendalikan penyakit busuk daun (Phytophthora infestans) pada tanaman kentang, bule (Peronosclerospora maydis) pada tanaman jagung dan tembakau Penyakit lanas (Phytophthora nicotianae).

Aplikasi Demorf 60WP dapat dicampurkan dengan benih sebagai seed treatment dengan dosis 5 gram per kilogram benih jagung. Atau disemprotkan pada tanaman jagung mulai umur 7 hari dengan dosis 2,5 gram per liter air. Interval penyemprotan bisa 7 hari sekali.

 

Niti Heriyanto, Ds Tawangharjo, Tawangharjo, Grobogan (10)

Seperti kata Niti Heriyanto, petani jagung di Dukuh Dalingan, Desa Tawangharjo, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Sejak menggunakan fungisida baru dari Cap Kapal Terbang itu, penyakit bulai kini tidak lagi menjadi masalah utama baginya.

“Karena hasilnya nyata. Begitu pakai Demorf, serangan bulai bisa langsung diatasi. Sekarang di sini sudah banyak yang pakai ini,” ungkap Heri yang juga Ketua Kelompok Tani Harapan Jaya ini.

 

Sunarto 'Setu', Ds Tawangharjo, Tawangharjo, Grobogan (12)Hal itu juga diamini oleh Sunarto Setu, petani jagung lain di Desa Tawangharjo. Menurutnya, dengan Demorf 60WP, performa tanaman jagung yang ia tanam di sela-sela hutan jati bisa lebih aman dan meyakinkan. “Saya sekarang rutin memakai Demorf, karena hasilnya memang lebih baik dan nyata,” tegasnya.

Sunardi, Ds Tegalsumur, Brati (12)Sedangkan bagi Sunardi, petani jagung dari Desa Tegalsumur, Kecamatan Brati, Grobogan, sejak dirinya mendapat informasi tentang Demorf 60WP, ia langsung mencobanya di lahan jagung seluas enam hektar. Hasil yang memuaskan membuatnya rutin untuk selalu menggunakan fungisida sistemik ini setiap kali ia tanam jagung.

“Hasilnya memang bagus dan terlihat perbedaannya. Perlindungannya lebih bagus dibanding fungisida lainnya,” ujar Sunardi saat ditemui Abdi Tani di lahan jagung seluas enam hektar yang ia pinjam dari Perhutani.

Riban, Ds Godan, Tawangharjo, Grobogan (4)Bagi petani jagung, fungisida Demorf 60WP biasa diaplikasikan sebagai perlakuan benih (seed treatment) sebelum benih jagung ditanam. “Saya biasanya tiap satu kilogram benih jagung saya campur dengan Demorf sebanyak lima gram,” terang Riban, petani jagung dari Desa Godan, Tawangharjo, Grobogan.

Menurut Riban, selain lebih efektif mengatasi bulai, harganya yang lebih terjangkau membuat Demorf 60WP banyak dipilih para petani jagung di wilayahnya. “Memang lebih laris dan sekarang sudah banyak yang memakai. Karena harganya lebih murah dan hasilnya lebih bagus,” kata Riban yang juga memiliki kios pertanian kecil-kecilan di rumahnya

 

Bagikan :     facebook      twitter        
Copyright @ PMD|BISI 2024