Kebanyakan jagung pakan akan selalu dipanen saat sudah tua. Namun, tidak jarang pula jagung ini dipetik muda untuk dijadikan jagung bakar atau rebus layaknya jagung manis. Salah satunya adalah jagung super hibrida BISI 226 yang memiliki rasa manis, sehingga ‘mapan’ alias bagus untuk dipanen muda.
Tanamannya tinggi, berbatang besar dan kokoh, serta daunnya hijau subur. Pun dengan tongkolnya, tampak besar dan sangat seragam. Itulah performa tanaman jagung super hibrida BISI 226 milik Syafiudin yang tengah dipanen muda untuk memenuhi permintaan pasar jagung muda di sekitaran Probolinggo.
“Yang dipanen sekarang ini berumur 70 hari,” ujar Syafi, panggilan akrab petani jagung asal Desa Klenang Kidul, Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur ini.
Bagi petani jagung di Probolinggo, panen muda sudah menjadi alternatif bagi mereka dalam usaha tani komoditas utama bahan baku ternak ini. “Sekarang ini harga jagung pipil kering agak murah, jadi saya jual muda untuk sayur,” terang Syafi.
Dalam setahun, petani jagung seperti Syafi ini rata-rata menanam jagung sebanyak tiga kali. Kecuali, kalau dipanen muda, bisa sampai empat kali setahun. “Kalau ada yang panen muda bisa tanam empat kali jagung terus menerus dalam setahun,” ucapnya.
Menurut Syafi, untuk panen muda, tidak diperlukan syarat khusus. Yang penting tanamannya bagus, tongkolnya besar, dan tidak mudah terkena serangan hama penyakit.
“Seperti jagung (BISI) 226 ini. Meskipun saya masih baru dua kalinya tanam, ternyata tanamannya juga bagus untuk dipanen muda,” terang Syafi.
Keunggulan BISI 226 untuk dipetik muda adalah performa tanamannya yang kuat dan tidak mudah terserang penyakit. Menurut Syafi, di awal pertumbuhan, tanaman jagung produksi PT BISI International, Tbk. ini terbukti lebih kuat dari serangan penyakit bulai. Tanamannya juga lebih besar, kuat, dan kokoh.
“Kalau tanamannya besar dan kuat seperti ini, maka tongkol yang dihasilkan juga bisa besar-besar,” kata Syafi saat ditemui Abdi Tani di lahan BISI 226 miliknya yang tengah dipanen muda.
Syafi mengatakan, tongkol BISI 226 muda memang berbeda dari jagung lain yang biasa ditanamnya. Selain ukurannya yang besar dan seragam, bijinya juga bisa penuh hingga ujung tongkol (muput) dengan klobot yang menutup sempurna. “Rasanya juga lebih manis,” lanjutnya.
Sementara menurut Nailus, pedagang jagung asal Desa Pendil, Banyuanyar, Probolinggo yang menebas jagung milik Syafi, tongkolnya tidaklah jauh berbeda dengan jagung lain yang biasa ditebasnya. Hanya saja, tanamannya memang lebih baik dibanding lainnya.
“Batangnya besar-besar dan daunnya biru (hijau-Bahasa Madura), jadi tebonnya juga lebih mapan (bagus-Bahasa Madura),” kata Nailus.
Saat panen muda, tebon atau bagian tanaman jagung selain tongkol juga bernilai ekonomis untuk dijadikan hijauan pakan ternak. Dengan tanaman yang lebih besar seperti BISI 226, maka nilai jualnya pun akan lebih tinggi.
“Ini satu ikat bisa dijual eceran Rp2.000. Batang dan daunnya bagus untuk tebon,” ujar pedagang yang setiap harinya membawa 6 kuintal jagung muda ke pasar Kraksaan, Probolinggo ini.
Perawatan murah
Jagung memang telah menjadi salah satu komoditas utama bagi petani di Probolinggo. Rata-rata dalam setahun, petani setempat menanam jagung sebanyak tiga kali. Kegemaran petani menanam jagung salah satu alasannya adalah murahnya biaya usaha tani salah satu komoditas pangan penting ini. Rata-rata petani setempat hanya mengeluarkan biaya tanam Rp2 juta per hektar lahan.
“Jagung ini (BISI 226-red.) hanya saya pupuk sekali dengan tetes (pupuk cair dari limbah pabrik tebu-red.), setelah itu sudah tidak saya apa-apakan lagi, disemprot pun juga tidak. Makanya biayanya juga sangat murah,” ujar Syafi seraya tersenyum saat ditemui Abdi Tani di lahan jagung BISI 226 seluas 8.000 m2 yang sudah berumur 70 hari.
Di samping hanya sekali dipupuk dengan tetes pada waktu tanaman berumur 20 hari setelah tanam, Syafi juga menerapkan sistem tanam TOT atau Tanpa Olah Tanah, sehingga biaya tanamnya juga lebih hemat lagi.
“Ini tanpa olah tanah. Jadi bekas jagung sebelumnya hanya saya semprot obat rumput (herbisida-red.) dan langsung saya tanami lagi,” terang Syafi.
Syafi sendiri telah menanam jagung BISI 226 sebanyak dua kali. Sebelumnya, ia telah menanam jagung super hibrida ini seluas 3 ha yang sebagian besar dipanen muda. “Hanya lahan 300 (3.000 m2-red.) yang saya panen tua, selebihnya dipanen muda.
Menurut Syafi, jagung BISI 226 miliknya yang dipanen muda tersebut ditebas seharga Rp10 juta per hektarnya. Dengan biaya tanam tidak lebih dari Rp2 juta, maka tiap hektar lahannya Syafi bisa mengantongi untung sekitar Rp8 juta.
Sementara untuk yang panen tua, lanjutnya, hasilnya juga lebih bagus dari jagung lain yang biasa ia tanam. Bahkan, karena hasilnya yang lebih bagus, jagung ini dijuluki jagong buwet, istilah dalam Bahasa Madura yang artinya ‘jagung barokah’. “Disebut buwet karena tanamannya tinggi, batangnya besar, pupuknya tidak banyak, dan hasil pipilan keringnya juga banyak. Kalau dihitung, rendemennya kemarin mencapai 75%. Jagung lain paling hanya 60%, itupun saat dipipil janggelnya ikut hancur. Kalau yang (BISI) 226 tidak hancur janggelnya, jadi lebih bersih pipilannya,” terangnya.
Saat ini, Syafi sendiri kembali menanam BISI 226 seluas 2,5 ha. “Sebagian sudah dipanen muda. Yang 800 (8.000 m2-red.) saya tuakan, karena umurnya sudah lewat kalau untuk panen muda,” katanya.d